Penyebab Gizi Buruk dan Solusinya – Terkait masalah gizi, lndonesia saat ini menghadapi beban ganda (double burden). Sisi lain Indonesia menghadapi masalah gizi kurang atau pendek/stunting, dan kurus, di sisi lain Indonesia telah dihadapkan pada masalah obesitas atau kegemukan.
Selain beban pada masalah gizi, Indonesia juga dihadapkan pada masalah kekurangan gizi mikro, yang berpotensi menjadi hidden hunger (bentuk kekurangan gizi mikro berupa defisiensi zat besi, yodium, asam folat, vitamin A dan beberapa jenis vitamin B yang tersembunyi). Hidden hunger ini memiliki dampak serius karena dari luar tidak menampakkan gejala, namun sebenarnya masalah itu ada (penderitanya jadi gampang sakit).
Data Riset Kesehatan Dasar atau yang biasa disingkat dengan sebutan Riskesdas pada tahun 2018 menunjukkan prevalensi stunting menurun menjadi 30,8 persen dari 37,2 persen di 2013, prevalensi gizi kurang (underweigth) juga membaik dari 19,6 persen pada 2013 menjadi 17,7 persen pada tahun 2018, sedangkan prevalensi kurus (wasting) turun ke posisi 10,2 persen (2018) dari 12,1 (2013). Meskipun angka stunting menurun, masih belum memenuhi syarat yang ditetapkan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), yaitu di ambang batas 20 persen.
Ahli pangan dan Ketua Pusat Pangan SEAFAST IPB yang bernama Prof. Dr. Ir. Purwiyatno Hariyadi, M.Sc, mengatakan bahwa masyarakat Indonesia masih mengalami kekurangan gizi mikro, seperti yodium, vitamin A, zat besi, hingga mineral lainnya.
Kemiskinan masih menjadi faktor utama penyebab munculnya masalah gizi ini. Karena miskin, tidak semua lapisan masyarakat bisa mendapatkan makanan sehat dengan mudah, sehingga harus dicarikan solusinya, antara lain fortifikasi pangan oleh dunia usaha.
Fortifikasi pangan merupakan metode untuk menitipkan senyawa penting yang diperlukan ke makanan untuk meningkatkan nilai gizinya, sehingga lebih mudah dijangkau masyarakat, Vitamin A misalnya, lazim dimasukkan ke produk margarin dan minyak goreng. Sementara yodium dimasukkan ke dalam garam.
Sementara itu, Prof. Martin W Bloem selaku Professor of John Hopkins Bloomberg School of Public Health dan Director of Center for Livable Future menyoroti tentang tantangan global yang dihadapi sejumlah negara di dunia saat ini, antara lain mencakup pengurangan kemiskinan, perlunya memperbaiki sumber daya manusia yang dapat dilakukan antara lain dengan mencegah stunting, akses pendidikan dan sistem kesehatan yang lebih baik, serta sistem pangan berkelanjutan.
Bloem mengatakan, populasi global tengah menghadapi krisis yang saling terkait, mencakup kemiskinan, masalah gizi buruk (gizi kurang dan kegemukan), juga masalah kesehatan (mortalitas dan morbiditas anak). Bloem menyebut ada lima miliar orang tinggal di kawasan di mana gizi buruk dan kematian anak masih menjadi masalah kesehatan masyarakat.
“Guna memutus mata rantai ini, konsumsi makanan bergizi harus berkelanjutan. Prof Bloem mengatakan, pelaku usaha dalam hal ini dapat berkontribusi dengan menyediakan makanan bergizi, antara lain dengan fortifikasi,” ujarnya dalam acara ajang Asian Congress of Nutrition (ACN) 2019, bertemakan ‘Nutrition and Food Innovation for Sustained Well-being’ yang diselenggarakan 4 – 7 Agustus 2019 di Bali International Convention Center (BICC), Nusa Dua, Bali seperti dikutip dari siaran persnya.
Pengentasan malnutrisi tidak hanya dilakukan pemerintah, namun juga menjadi tanggung jawab para pihak dalam hal ini perusahaan swasta/pelaku usaha. Axton Salim yang juga menjabat sebagai Global Co Chair of Scaling Up Nutrition Business Network (SBN), mengatakan peran industri makanan sangat besar dalam pemenuhan pangan sehat dengan harga yang terjangkau. Scaling Up Nutrition (SUN) diinisiasi oleh PBB memungkinkan business network berkontribusi nyata untuk meningkatkan gizi di negara masing-masing.
SBN dibentuk untuk memobilisasi dan mengintensifkan upaya bisnis dalam mendukung Scaling Up Nutrition (SUN) Movement dan memastikan setiap orang memperoleh hak mendapatkan makanan yang baik dan bergizi. SUN Movement melibatkan pelaku usaha/bisnis, badan PBB, donor dan masyarakat lokal untuk mendukung pemerintah. Ada tiga pilar yang menjadi fokus SBN, yaitu 1.000 Hari Pertama Kelahiran dan Adolescence, Balanced Nutrition, dan Health & Sanitation.
Axton yang juga menjabat sebagai Direktur PT Indofood Sukses Makmur Tbk, mengatakan dunia usaha memiliki peran penting dalam mengatasi malnutrisi, antara lain dengan menciptakan makanan sehat (fortifikasi pangan), menggunakan bahan pangan lokal dengan biaya produksi yang tidak mahal sehingga bisa dijual dengan harga yang terjangkau masyarakat.
Indofood sudah melakukan sejumlah upaya untuk mendukung SUN Movement, antara lain dengan fortifikasi produk pada tepung Bogasari dan Indomie. Contohnya produk terigu Bogasari yang ditambahkan dengan vitamin B dan zat besi untuk memenuhi kebutuhan gizi mikro guna mengatasi malnutrisi. Indofood juga meluncurkan Govit, jajanan sehat yang mengandung 11 vitamin dan 4 mineral dengan harga terjangkau, yaitu Rp500 per sachet. Untuk makanan pendamping ASI (MPASI), Indofood merilis SUN MPASI yang difortifikasi dengan aneka sumber gizi mikro, juga dengan harga terjangkau Rp500 per sachet.
Selain melakukan fortifikasi pangan, sejumlah inisiatif yang dilakukan Indofood antara lain program Nutrition for Workforce, edukasi remaja melalui aplikasi mobile agar semakin banyak remaja menyadari pentingnya gizi dan tubuh yang sehat, mendorong tumbuhnya start up lokal bidang pangan, gizi dan kesehatan sehingga terbentuk mekanisme yang akan memutus rantai malnutrisi dan kemiskinan.
Axton menambahkan, dunia usaha bisa berkontribusi dan berperan aktif dalam pengentasan masalah nutrisi di Indonesia dan mensukseskan SDGs (Tujuan Pembangunan Berkelanjutan) yang dicanangkan PBB dan hendak dicapai pada 2030, antara lain dengan bergabung di SBN. “Perusahaan bisa berkontribusi sesuai expertise masing-masing. Semua bisa terlibat dan mencari inovasi baru untuk menjawab masalah malnutrisi di Indonesia,” tandasnya.
Prof Purwiyatno juga membahas pentingnya keamanan pangan, hal krusial namun masih kerap diabaikan. Pangan yang dianggap sehat jika tidak aman menjadi tidak berarti. Oleh karena itu makanan harus diupayakan aman, karena jika terdapat kontaminan makanan itu tidak dapat dimanfaatkan tubuh karena bisa menimbulkan penyakit.
Pangan yang terkontaminasi bisa menyebabkan penyakit karena mengandung kuman seperti bakteri, virus, parasit, atau zat kimia berbahaya, sehingga berisiko menimbulkan berbagai penyakit. Data Organisasi Kesehatan Dunia atau yang biasa disebut dengan singkatan WHO menyebutkan bahwa 1 dari 10 orang di dunia sakit setelah menyantap makanan yang terkontaminasi. Dari jumlah itu sekira 420 ribu orang meninggal setiap tahunnya. Jadi keamanan pangan memang tak bisa diabaikan.
Kunci kunci keamanan pangan versi WHO adalah sebagai berikut: Menjaga kebersihan (mencuci tangan sebelum makan atau memegang makanan), pisahkan makanan matang dan mentah agar tak terjadi kontaminasi silang, masaklah dengan benar, jaga pangan pada suhu yang benar dan gunakan air dan bahan baku yang aman. “Bahan pangan tidak bisa disebut sebagai makanan jika mengabaikan aspek keamanan. Oleh sebab itu, pengawasan keamanan pangan harus dimulai bukan sejak pangan diolah, namun sejak diproduksi,” kata Prof Purwiyatno.