Masalah Kesehatan Mental di Indonesia – Didalam publikasi World Health Organization atau yang biasa disingkat dengan sebutan WHO menyatakan bahwa satu dari empat orang di dunia terjangkit gangguan mental atau neurologis dalam beberapa waktu di dalam hidup mereka. Publikasi yang sama juga menyebutkan bahwa sekitar 450 juta orang saat ini menderita gangguan mental, dan hampir 1 juta orang melakukan bunuh diri tiap tahun.
Data yang dihasilkan Riset Kesehatan Dasar atau yang biasa disebut Riskesdas Indonesia pada tahun 2013, dikombinasi dengan Data Rutin dari Pusdatin dengan waktu yang disesuaikan, prevalensi gangguan mental emosional yang ditunjukan dengan kecemasan dan gejala-gejala depresi sebesar 6% untuk usia 15 tahun ke atas atau sekitar 14 juta orang. Sedangkan gangguan jiwa berat, seperti skizofrenia, adalah 1,7 per 1.000 penduduk atau sekitar 400.000 orang.
Secara biologis para penderita skizofrenia dapat disebabkan karena alasan genetik, lebih tepatnya: gen abnormal. Ini dipicu kemunculan virus atau infeksi selama kehamilan yang menganggu perkembangan otak janin, menurunnya autoimun, dan komplikasi kandungan. Gangguan mental dan prilaku telah terbukti berhubungan dengan gangguan dari komunikasi saraf dalam sirkuit tertentu. Jika seseorang memiliki anggota keluarga dengan skizofrenia berarti ia memiliki faktor epigenetik; dan jika mengalami tekanan psikososial maka ia akan beresiko terpapar skizofrenia di kemudian hari.
Sudah banyak temuan yang mengungkapkan faktor penting hubungan dengan orang tua atau pengasuh lainnya selama masa kanak-kanak. Perhatian, kasih sayang, dan perawatan penting untuk mengembangkan fungsi normal seperti bahasa, kecerdasan dan regulasi emosional. Jika tidak maka anak akan tumbuh dengan gangguan kesehatan mental.
Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Asrorun Ni’am Sholeh mengatakan tiap tahun angka kekerasan terhadap anak mencapai 3.700 dan 70 persen pelaku kekerasan terhadap anak adalah orang tua dari anak itu sendiri. Hal ini yang akan menyebabkan pengalaman traumatis bagi anak.
Di RS Jiwa Prof. Dr. V.L. Ratumbusyang Manado, banyak anak muda berusia antara 12-20 tahun ke atas mengalami skizofrenia. Kebanyakan dari mereka didampingi anggota keluarga. Penyebabnya bermacam-macam, namun kebanyakan adalah pengalaman traumatis, seperti bullying yang dialami di sekolah dan lingkungannya, termasuk lingkungan keluarga.
Di kota Yogyakarta, Kepala Dinas Kesehatan DIY dokter gigi Pembayun Setyaningastutie mengatakan penyebab lain dari faktor psikologis, yaitu jumlah penderita skizofrenia bertambah terutama sejak terjadinya gempa bumi 2006 karena mengalami pengalaman traumatis seperti kehilangan keluarga. Angka itu menjadi tertinggi kedua setelah Aceh, yang tentu saja dipicu oleh pengalaman traumatis tsunami.
Faktor lainnya adalah faktor sosial, meliputi kemiskinan, perang, dan lingkungannya, dianggap cukup rumit untuk ditemukan hubungannya. Kehidupan pedesaan juga penuh dengan masalah bagi banyak orang. Isolasi, keterbatasan sarana transportasi dan komunikasi, kesempatan pendidikan, ekonomi, hingga pelayanan kesehatan mental cenderung untuk memusatkan pada sumber daya klinis dan keahlian di daerah metropolitan yang lebih besar, menyisakan pilihan yang terbatas untuk penduduk pedesaan yang membutuhkan perawatan kesehatan mental.
Dari perspektif lintas-budaya, hampir tidak mungkin menentukan kesehatan mental secara komprehensif. Para ahli yang memiliki latar belakang berbebeda, dari kultur, kelas sosial, pandangan politik, hingga agama, akan berdampak pada metodologi yang diterapkan selama pengobatan. Prof. Drs. Subandi, M.A, Ph.D., mengatakan masalah gangguan dan kesehatan jiwa memiliki dimensi cukup kompleks. Kesehatan jiwa tidak hanya terkait masalah medis atau psikologis semata, tetapi juga mempunyai dimensi sosial budaya sampai dimensi spiritual dan religius.
Sebuah laporan menuliskan bahwa prakitik medis melihat banyak penderita skizofrenia yang dengan keyakinan agama tertentu mengalami delusi—seperti keyakinan mereka adalah dewa atau nabi, atau merasa bahwa Tuhan sudah berbicara kepada mereka, hingga kerasukan setan. Studi trans-budaya telah menemukan bahwa skizofrenia jauh lebih umum terjadi pada pasien yang mengidentifikasi dirinya sebagai seorang beragama.
Di Indonesia sebagai negara multikultur pun memiliki cara penanganan yang berbeda. Saat ini Indonesia, dengan penduduk sekitar 250 juta jiwa, baru memiliki sekitar 451 psikolog klinis (0,15 per 100.000 penduduk), 773 psikiater (0,32 per 100.000 orang), dan perawat jiwa 6.500 orang (2 per 100.000 orang). Sementara WHO menetapkan standar jumlah tenaga psikolog dan psikiater dengan jumlah penduduk adalah 1:30 ribu orang, atau 0,03 per 100.000 orang.
Direktur Bina Kesehatan Jiwa Kementerian Kesehatan RI yang bernama Dr. Eka Viora SpKJ, mengatakan bahwa sebagian besar puskesmas di wilayah Timur Indonesia belum memiliki psikolog, 30 persen puskesmas tidak memiliki dokter umum sehingga persoalan kesehatan jiwa di daerah tersebut belum tertangani secara maksimal.
Dilihat dari salah satu pengaruh dari budaya dan agama adalah penanganan orang gangguan jiwa dengan pemasungan. Meskipun pemerintah Indonesia telah melarang pemasungan pada 1977, kenyataannya (berdasarkan laporan Human Rights Watch Indonesia), masih ada 18.800 orang yang masih dipasung karena dianggap sebagai kutukan atau kerasukan setan.
Kita dapat saja mengurangi angka di atas dan itu dibutuhkan kerjasama oleh berbagai pihak, dari keluarga, komunitas, masyarakat, media, LSM, pemerintah dan pembuat kebijakan, ahli, dan juga individu-individu. Di beberapa negara layanan semakin didasarkan pada pendekatan pemulihan, dimaksudkan untuk mendukung perjalanan pribadi masing-masing individu untuk mendapatkan jenis kehidupan yang mereka inginkan
Pengobatan orang dengan gangguan mental dapat dilakukan dengan berbagai cara, entah dari terapi dengan psikiater, pengobatan rawat jalan, hingga program bantuan masyarakat. Pengobatan rawat jalan dengan tenaga ahli pun terkadang sulit dilalui karena biayanya yang tidak murah, namun program bantuan masyarakat dapat memberikan pelayanan berkualitas dengan biaya paling rendah bagi mereka yang membutuhkannya.
WHO menyatakan bahwa pelayanan kesehatan mental masyarakat yang lebih mudah diakses dan efektif, mengurangi pengucilan sosial, dan cenderung memiliki kemungkinan yang lebih sedikit dalam memicu pelanggaran hak asasi manusia yang sering dijumpai di rumah sakit jiwa.